Blogger Widgets
Minggu, 05 Januari 2014

Putus Sekolah

  Putus Sekolah

Putus sekolah merupakan predikat yang diberikan kepada mantan peserta didik yang tidak mampu menyelesaikan suatu jenjang pendidikan sehingga tidak dapat melanjutkan studinya ke jenjang pendidikan berikutnya. Misalnya, seorang warga masyarakat atau anak yang hanya mengikutipendidikan di sekolah dasar (SD) sampai kelas 5,disebut sebagai putus sekolah SD (belum tamat SB/tanpa STTB). Dengan demikian, seorang masyarakat yang memiliki STTB  SD kemungkinan mengikuti pembelajaran di SMP sampai kelas 2 saja,disebut putus sekolah SMP, dan seterusnya.
Bila seorang warga masyarakat telah tamat SD/SMP/SMA/PT dan memiliki STTB/ijazah Negara yang sah, ia disebut berpendidikan tertinggi SD/SMP/SMA/PT sehingga bila ia bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) ia memperoleh efek sipil sesuai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian Republik Indonesia.
Masalah putus sekolah khususnya pada jenjang pendidikan rendah, kemudian tidak bekerja atau berpenghasilan tetap, dapat merupakan beban masyarakat bahkan sering menjadi pengganggu ktentraman masyarakat. Hal ini diakibatkan kurangnya pendidikan atau pengalaman intelektual, serta tidak memiliki keterampilan yang dapat menopang kehidupannya sehari-hari. Lebih-lebih bila mengalami frustasi dan merasa rnedah diri tetapi bersikap over-compensation, bias menimblkan gangguan-gangguan dalam masyarakat berupa perbuatan kenakalan yang bertentangan dengan norma-norma sosial yang positif.
Masalah putus sekolah bias menimbulkan ekses dalam masyarakat, karena itu penanganannya menjadi tugas kita semua.khususnya, melaui strategi dan pemikiran-pemikiran sosiologi pendidikan sehingga para putus sekolah tidak mengganggu kesejahteraan social. Sejurang-kurangnya ada tiga langkah yang dapat dilakukan, yaitu sebagai berikut.
1.      Langkah preventif, yaitu dengan membekali para peserta didik keterampilan-keterampilan praktis dan bermanfaat sejak dini agar kelak bila diperlukan dapat merespon tantangan-tantangan hidup dalam masyarakat  secara positif sehingga dapat mandiri dan tidak menjadi beban masyarakat atau menjadi parasit dalam masyarakat. Misalnya, keterampilan-keterampilan kerajinan, jasa, perbengkelan, elektronika, PKK, fotografi, batik, dan lain sebagainya.
2.      Langkah pembinaan, yaitu dengan memberikan pengetahuan-pengetahuan praktis yang mengikuti perkembangan atau pembaruan zaman, melalui bimbingan dan latihan-latihan dalam lembaga-lembagai sosial atau pendidikan luar sekolah, seperti LKMD, PKK, klompencapir, karang taruna, dan sebagainya.
3.      Langkah tindak lanjut, yaitu dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada mereka utntuk terus melangkah maju melalui penyediaan fasilitas-fasilitas penunjang sesuai kemampuan masyarakat tanpa mengada-ada, termasuk membina hasrat pribadi untuk berkehidupan yang lebih baik dalam masyarakat. Misalnya, memberikan penghargaan, bonus, keteladanan, kepahlawanan, dan sebagainya, sampai berbagai kemudahan untuk melanjutkan studi dengan program belajar jarak jauh, seperti universitas terbuka, sekolah terbuka, dan sebagainya. Juga melalui koperasi dengan berbagai kredit, seperti KIK, KCK, kredit profesi, dan sebagainya (Nasution, 1983: 71-73).
Ada berbagai latar belakang kemunculan putus sekolah dalam dunia pendidikan kita. Kebanyakan adalah persoalan ekonomi. Orang tua siswa tidak mampu membiayai anaknya untuk melanjutkan sekolah. Kekuatan dan kekuasaan ekonomi mereka hanya mampu dipergunakan untuk biayahidup sehari-hari. Tidak jarang anaknya yang sedang sekolah melakukan kerja untuk membantu orang tuanya mencukupi kebutuhan sehari-hari seluruh  anggota keluarga tersebut. Biasanya, kerja atau bantuan anak tersebut dilakukan setelah ia pulang sekolah, sampai menjelang waktu memasuki malam, ada juga sampai malam. Terkadang, ada juga dilakukan sebelum ia berangkat sekolah dan setelah ia pulang sekolah,. Pekerjaan tersebut bisa dari ikut berjualan di pasar, jualan koran, cari pasir, memecah batu, membuat batu bata, mencari ikan, mencari kayu, dan lain sebagainya.
Pada kasus anak putus sekolah karena alasan ekonomis dan anak yang terpaksa melakukan kerja selain belajar, pekerjaan tersebut dilakukan tentunya ikut mengurangi konsentrasi proses belajarnya di sekolah tersebut. Fisiknya akhirnya banyak terkuras dalam kerja tersebut, sementara proses belajar yang menggunakan nalar ikut berkurang karena kecapaian tersebut. Terkadang, ketika ia sudahmelakukan atau membantu orang tuanya mencukupi kebutuhan sehari-hari, pekerjaan tersebut tidak bisa membantu keluarganya dalam mencukupi kebutuhan ekonomi dasar, seperti makanan, dengan kasus keluarga miskin dengan jumlah anggota keluarga besar. Itu membuat sang anak menjadi berpikir terlalu keras pula, sementara sekolah yak bisa diabaikannya dan menuntutnya untuk berpikir, memahami pelajaran yang diajarkan guru di sekolah, akhirnya menimbulkan kelelahan fisik, psikis dan pikiran, tak jarang akhirnya ia kecapaian, jatuh sakit, dan kemudian menyebabkan ia jarang masuk sekolah. Proses selanjutnyam orang tuanya mendorong anaknya focus dalam kerja saja sementara sang anak tersebut tentu tak punya pilihan lain, melihat kondisi orang tuanya kecapaian karena sudah tua, sulit membiayai kebutuhan sehari-hari, sementara adik-adiknya membutuhkan makan, akhirnya ia memilih untuk putus sekolah.
Ada juga sebab putus sekolah karena sang anak memiliki persoalan di sekolah, memiliki musuh, baik itu seniornya, teman seangkatannya, adik kelasnya, yang itu tidak membuatnya nyaman. Atau, ia melakukan perbuatan tidak bermoral, perbuatan keji, melakukan kekerasan, dan pelecehan seksual karena kemajuan teknologi dan informasi dunia internet atau melalui tayangan televise, seperti pembunuhan, pemerkosaan, atau melakukan kekerasan pada teman sekolahnya yang mengakibatkan kerusakan fisik atau cacat fisik, dan itu mengakibatkannya bukan hanya berurusan dengan tata tertib sekolah, dengan keluarga pihak korban, tapi juga berlanjut dengan pihak aparat berwenang, yang mengakibatkan ia dipenjara, untuk kasus pelajar sekolah menengah atau sudah mahasiswa.
Temuan selanjutnya, anak bekerja dalam berbagai pekerjaan, mulai dari pemulung, penjual koran, petugas parker liar, pemilah sampah TPA, buruh petani dan perkebunan, pengemis, pembantu rumah tangga, pelayan took dan restaurant, pendorong gerobak di pelabuhan dan pasar, kuli angkut, penyelam mutiara dan ikan teripang di laut tanpa peralatan, kernet, nelayan, buruh bangunan, penjual sayur, dan penyemir sepatu. Ada juga factor lain yang menyebabkan anak terancam putus sekolah yaitu karena melakukan tindak kriminal.
Menurut data organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB yang merilis Indeks Pembangunan Pendidikan (education development index) menyebutkan penurunan peringkat Indonesia dalam indeks pembangunan pendidikan untuk semua. Salah satunya disebabkan oleh tingginya angka putus sekolah di jenjang sekolah dasar.
Persoalan masih tingginya angka putus sekolah juga diakui oleh Menteri Pendidikan Nasional M. Nuh dalam suatu kesempatan di tahun 2010.siswa yang putus sekolah di tingkat SD dan SMP putus sekolah terutama akibat persoalan ekonomi. Selain itu, sekitar 920.000 lulusan SD tidak bisa melanjutkan pendidikan ke SMP dengan beragam alasan. Sedangkan, lulusan SMP yang tidak melanjutkan ke jenjang SMA sederajat lebih banyak lagi.
Selain persoalan ekonomi yang menjadikan banyaknya angka putus sekolah, ada sebab lain, yaitu berkaitan dengan susahnya mengakses sekolah karena persoalan jaraknya jauh. Hal tersebut kebanyakan terjadi di wilayah terpencil, Indonesia bagian timur, akibat dari proses pembangunan yang tidak merata dan selama ini terfokus pada Jawa. Selain itu,ada faktor bencana alam yang menyebabkan anak terancam putus sekolah. Hal tersebut bisa dicontohkan dengan bencana alam seperti gempa bumi, gunung meletus, tsunami, yang terjadi di Jogjakarta dan Aceh. Bencana yang terjadi menghancurkan sekolah, rumah, dan hasil pertanian mereka. Hal demikian jika tidak ditangani secara luar biasa dapat menyebabkan jumlah anak putus sekolah semakin banyak.
Penyebab lain anak putus sekolah adalah keluarga, seperti perceraian atau kekerasan dalam rumah tangga. Melihat berbagai faktor yang menjadi penyebab terjadinya putus sekolah dari peserta didik baik itu bersal dari sekolah, rumah, maupun masyarakat, dan faktor dari kepribadian peserta didik. Maka, penanganan atas persoalan tersebut harus dilakukan secara holistik. Penanganan tersebut juga memerlukan kerja sama semua pihak yang menciptakan suasana bagi peserta didik tidak memiliki keputusan untuk putus sekolah.

Misalnya, pihak sekolah memberikan perhatian kepada peserta didik dari kalangan ekonomi rendah dengan memberikan program beasisa,pendidikan gratis, atau member kelonggaran atas biaya sekolahnya. Kemudian, membangun dialog dengan orang tua peserta didik bagi kemajuan dan keberlangsungan peserta didik, dengan sering mengunjungi rumah peserta didik atau mengundang orang tua peserta didik membicarakan semua persoalan yang ada berkaitan dengan persoalan peserta didik yang dikhawatirkan memiliki potensi putus sekolah, dengan jalan yang baik dan bijaksana tanpa pernah mencampuri urusan rumah tangga secara lebih jauh yang mengakibatkan semakin runyamnya persoalan yang ada. Atau, bekerja sama dengan tokoh masyarakat, tokoh agama sehingga dapat memberikan semangat pada peserta didik bisa tetap meneruskan sekolahnya, entah itu karena adanya persoalan ekonomi, keluarga, atau adanya ketegangan atau konflik di sekolahnya.
Title: Putus Sekolah; Written by Unknown; Rating: 5 dari 5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar